Chapter 2
Melihat kecanggungan di kelas, Mrs. Scratton berdeham lalu berkata, “Anak-anak, hari ini kita kedatangan murid baru.” Lalu Mrs. Scratton mempersilahkan anak baru itu untuk memperkenalkan dirinya.
Melihat kecanggungan di kelas, Mrs. Scratton berdeham lalu berkata, “Anak-anak, hari ini kita kedatangan murid baru.” Lalu Mrs. Scratton mempersilahkan anak baru itu untuk memperkenalkan dirinya.
Anak
baru itu memiliki badan yang tinggi jangkung. Tingginya kira-kira 180 cm. Aku
dapat melihat otot di tangannya. Sepertinya dia rajin berolahraga. Rambutnya berwarna coklat agak ikal. Dia memakai anting di telinga kirinya. Crri khas anak metal. Hmm... Tulang rahangnya keras, memperjelas bentuk wajahnya.
Lalu,
anak baru itu mulai memperkenalkan dirinya. “Perkenalkan namaku Dean Hyland.
Panggil saja Dean. Aku murid pindahan dari Baltimore. Senang bisa bergabung
dengan kelas ini.” Dia tersenyum ramah pada kami semua.
Kemudian,
Chris bertanya, “Dude, apa yang kau mainkan?”
“Apa yang aku mainkan? Guitar Hero, Mario
Bros, nggg.. dan banyak lagi.” Canda Dean.
“Aku
serius, bung. Kau terlihat begitu atletis.”
“Oh,
maaf. Well, aku bermain drum.”
Chris
langsung bersemangat begitu mendengar kalau Dean bermain drum. “Ah, kebetulan
sekali. Band-ku sedang membutuhkan seorang drummer. Apakah kau sedang bergabung
dengan sebuah band?”
“Tidak.
Aku keluar dari band lamaku karena perbedaan visi-misi.”
Lalu
Mrs. Scratton berdeham, “sepertinya ada pembicaraan yang seru di sini. Tetapi
kita tidak punya banyak waktu. Chris, kau bisa membicarakannya lagi nanti
seusai jam pelajaran, oke?”
“Oh,
ya. Maaf.”
Lalu
akhirnya Mrs. Scratton mempersilahkan Dean untuk duduk di tempat yang kosong
dan tempat itu berada di belakang mejaku. Aku bisa mencium harumnya saat dia
berjalan melewati mejaku. Aku tidak berani melihatnya. Takut kesulitan untuk
bernafas. Akupun mulai berlebihan. Astaga.
Seusai
jam pelajaran semua teman-temanku menghampiri Dean secara bergantian untuk
berkenalan dan berbincang-bincang. Sedangkan aku tidak beranjak dari kursiku.
Aku bukanlah tipe orang yang senang berkumpul di antara banyak orang. Apalagi
mengerumuni satu orang yang belum tentu akan mengingat wajahmu, apalagi mengingat
namamu setelah sebuah perkenalan yang amat singkat.
Aku
memasang headset di telingaku dan menyetel lagu di iPodku dengan volume hampir
penuh. Namun, suara perbincangan teman-temanku di belakang lebih riuh dibanding
apa yang aku perkirakan. Karena merasa terganggu akupun beranjak dari kursiku
lalu pergi ke perpustakaan.
Tak
berapa lama kemudian Sam menghampiriku, dia menepuk pundakku yang otomatis
membuatku terguncang dan hampir menjatuhkan buku yang sedang aku baca.
“Tidak
bisa ya tidak membuatku kaget?” Protesku.
“Maaf.”
Katanya dengan tidak berdosa. “Jadi bagaimana?” Sam tersenyum licik.
“Bagaimana
apanya?” Tanyaku dengan bingung.
“Dean
Hyland. Si anak baru yang tampan itu.” Sam menyolek daguku. Masih dengan senyum
liciknya.
Aku
tidak tahu harus berkata apa. Yang jelas aku malu untuk mengakui kalau Dean
memang benar-benar tampan dan segalanya. Padahal tadi pagi aku sungguh tidak
peduli dengannya. Ckck..
“Bagaimana?”
Sam terus mendesakku.
“Yah,
dia tampan. Kau benar.” Akhirnya aku mengatakannya. Namun aku tetap berusaha
agar terdengar tidak tertarik dengan Dean.
Sam
terus tersenyum licik. Aku benci senyumannya.
“Ah,
pipimu memerah. Aku tahu kau tertarik dengannya. Biar kutebak...”
“Apa?”
“Dia
mirip Tristan Evans kan?”
“Ya,
iya sih. Tapi aku kan tertariknya dengan Tristan Evans. Bukan dengan Dean
Hyland. Mengerti?” Aku berusaha mengatakannya seyakin mungkin.
“Masa
sih?” Sam terus memojokanku.
“Sudahlah,
Sam. Tertarik padanya, artinya kau harus siap bertempur dengan ratusan anak
perempuan di sekolah ini. Kau tahu kan, sebelum tahu rupanya saja mereka sudah
mengaguminya, bagaimana dengan sekarang? May
the odds be ever in your favor, sajalah..” Kataku pasrah.
“Nampaknya
ada yang putus asa. Aku tahu Dean itu tipe cowok idamanmu sekali. Kumohon kali
ini jangan mengelak.”
“Ya.”
Jawabku singkat.
“May the odds be ever in your favor!” Sam
membisikiku lalu beranjak pergi dengan cengiran lebar.
“Dasar
kau!” Aku membalasnya dengan tidak bersuara karena ini perpustakaan. Kalau
tidak aku sudah meneriakinya.
***
Tiga
hari telah berlalu dan aku mendengar kabar kalau Dean sudah resmi bergabung
dengan band-nya Chris, Collateral Damage. Drummer lama mereka baru saja pindah
sekolah ke luar negeri. Namanya, Rex. Dia adalah drummer terhebat di sekolah
ini. Sangat disayangkan dia tidak bisa bergabung dengan Collateral Damage lagi.
Semoga saja Dean bisa menyepadani Rex atau bahkan lebih baik darinya.
Collateral
Damage adalah band paling tenar di sekolahku. Terdiri dari 4 orang anggota.
Chris di vokal dan gitar, Adam di bass, Peter di gitar dan Dean di drum. Senang
sekali bisa menyebutkan namanya sebagai anggota baru dari Collateral Damage.
Seluruh
anggotanya adalah murid kelas 2. Musik yang mereka bawakan bergenre mulai dari punk-rock
sampai hard metal. Kalian tahu, yang banyak teriakan-teriakannya itu. Aku kagum
dengan Chris dan suaranya yang tidak pernah habis. Bernyanyi sambil teriak itu pasti
luar biasa sulit dan penuh perjuangan.
Well, Here we go again, pelajaran paling
membosankan. Geometri. Aku benci geometri. Oh tidak. Aku benci gurunya. Dia
mengajar seakan-akan kami semua adalah seorang ahli geometri. Dia hanya
mengoceh dan mengoceh tanpa sedikitpun memperhatikan apakah murid-muridnya
mengerti atau tidak dengan apa yang dia jelaskan. Bicara saja dengan papan
tulis. Astaga, maafkan aku Mr. Bones tapi aku sudah terlanjur kesal.
Semua
teman-temanku asyik sendiri. Ada yang mengunyah permen karet. Ada yang
mendengarkan musik menggunakan headset. Ada yang bermain handphone. Ada yang
mengecat kuku. Ada yang hanya diam pasrah dan ada yang dengan rajin menyalin
semua yang ditulis Mr. Bones di papan tulis ke dalam buku catatannya.
Aku?
Aku hanya diam dengan suara Vic Fuentes mengalun di kepalaku. Dengan tidak
disengaja akupun menyanyikannya dengan pelan, “Maybe we’re just having too much fun...”
Lalu
tiba-tiba aku mendengar suara dari belakangku melanjutkan nyanyianku sama
pelannya dengan yang aku lakukan namun aku bisa mendengarnya dengan jelas.
Suaranya lembut, “Maybe you can’t handle
yourself, staring at me with your lips and tongue...”
Dengan spontan akupun menengok ke belakang. Mataku
bertemu dengan matanya. Dean. Dia mengangkat sebelah alisnya lalu bertanya, “Bulls In The Bronx?”
Aku
masih terkejut dengan kenyataan bahwa Dean yang melanjutkan nyanyianku barusan.
Akupun masih terdiam menatapnya lalu beberapa detik kemudian aku menyadarkan
diriku untuk berkata, “Iya, hehe. Suaraku terlalu besar ya? Aku tidak sengaja
menyanyikannya.” Aku malu sekaligus senang.
“Hahaha
tidak masalah. Kau suka dengan Pierce The Veil?” Tanya Dean dengan ragu.
“Mmm, begitulah.” Kami berbicara dengan berbisik-bisik agar tidak terdengar oleh Mr.
Bones. Terdengar pun sebenarnya tidak masalah. Dia bukan tipe guru yang
menghukum muridnya karena mengobrol di kelas. Lagi pula seperti yang aku
katakan tadi, Mr. Bones tidak peduli dengan murid-muridnya.
Tiba-tiba
Mr. Bones menoleh ke arah kami berdua, “Sepertinya ada yang sedang asyik
berbincang-bincang. Imogene, dan kau murid baru, Dean.”
“Ehh,
maaf.” Kata Dean terbata-bata. Seorang anak baru ditegur guru karena mengobrol
dengan anak lama. Dan anak lama itu adalah aku. Maafkan aku Dean.
“Baiklah,
sekarang kembali perhatikan ke papan tulis.” Mr. Bones memerintahkan kami. Kami
menurutinya diikuti dengan anak-anak yang lain.
Seusai
pelajaran geometri, aku dan Dean berpapasan di depan pintu kelas, dia
memanggilku, “Imogene?”
Sontak
aku terkejut mendengarnya memanggil namaku. Lalu aku menjawab, “Ya?” dengan
canggung.
Dean
tersenyum lagi, “Tidak, aku hanya memastikan kalau itu benar-benar namamu.”
Senyumannya tak tertahankan. Deretan giginya yang rapi menambah kemanisan
senyumannya. Astaga...
“Oh,
ya. Baiklah.” Setelah mengatakannya aku merasa sangat bodoh. Kata-kata itu
terdengar seperti aku mengharapkan dia berkata lebih dari hal itu. Aduh,
cerobohnya diriku. Semoga dia tidak menyadarinya.
“Senang
berkenalan denganmu, Emo” Katanya dengan sangat ramah. Tunggu, Imo? Apa? Emo?
Dean memanggilku seperti itu? Itu terdengar aneh karena orang-orang biasa
memanggilku Immy. Dan setahuku, orang-orang yang bernama Imogene memang selalu
dipanggil Immy untuk mempersingkat namanya dan agar terdengar lebih akrab.
Tetapi Dean...... Apakah dia punya nama panggilan tersendiri untukku? Astaga.
Aku
terdiam lalu berkata, “Hah?” Aku pasti terdengar seperti orang bodoh (lagi dan
lagi).
“Iya,
Emo. E-M-O.” Dia pun mengejanya.
“Tapi
kenapa? Aku biasa dipanggil Immy.” Aku tertawa canggung sambil menggaruk
kepalaku yang tidak gatal.
“Kurasa
Emo lebih cocok untukmu. Mengingat selera musikmu yang bisa dibilang ekstrem
untuk ukuran anak perempuan bertubuh kecil sepertimu.” Dia tertawa kecil.
“Ohh,
begitu.” Aku tertawa dengan canggung lagi. Aku mengerti maksudnya. Anak
perempuan bertubuh kecil? Oke, kalimat itu sah-sah saja karena aku memang tidak
tinggi jangkung seperti model Victoria Secret.
“Kau
tidak keberatan kan?” Tanyanya.
“Oh,
tidak sama sekali.” Aku justru senang kau punya nama panggilan tersendiri
untukku. Kalau saja kita berpacaran, bisa dibilang itu adalah panggilan
sayangmu untukku. Ya Tuhan aku mengaur lagi. Astaga...
“Baiklah,
Emo. Sampai jumpa lagi.” Dia tersenyum padaku lalu beranjak pergi. Saat dia
membalikkan tubuhnya, aku dapat mencium aroma tubuhnya. Baunya seperti mint.
Sangat menyegarkan.
Aku
hanya membalasnya dengan mengangkat telapak tangan kanananku ke udara tanpa
berkata-kata. Aku kehabisan kata-kata untuknya. Sungguh.
Aku
masih diam terpaku dengan tatapan kosong dan dengan telapak tangan yang masih
terangkat di udara ketika tiba-tiba aku tersadar akan penampakan sepasang
sepatu converse cokelat di depan sepatuku.
“Emo.”
Sepatu itu memanggil namaku. Eh, bukan sepatu. Maksudku si pemilik sepatu itu
memanggil namaku. Suaranya terdengar familiar. Aku menggeleng-gelengkan
kepalaku untuk menyadarkan diri. Dan, TADAAA, sepatu itu ternyata milik Dean. Aku
benar-benar seperti orang bodoh di hadapannya. Itu sudah pasti. Dia kembali.
Untuk apa?
to be continued..........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar