7.24.2014

Define Good


Chapter 2





Melihat kecanggungan di kelas, Mrs. Scratton berdeham lalu berkata, “Anak-anak, hari ini kita kedatangan murid baru.” Lalu Mrs. Scratton mempersilahkan anak baru itu untuk memperkenalkan dirinya.

Anak baru itu memiliki badan yang tinggi jangkung. Tingginya kira-kira 180 cm. Aku dapat melihat otot di tangannya. Sepertinya dia rajin berolahraga. Rambutnya berwarna coklat agak ikal. Dia memakai anting di telinga kirinya. Crri khas anak metal. Hmm... Tulang rahangnya keras, memperjelas bentuk wajahnya.

Lalu, anak baru itu mulai memperkenalkan dirinya. “Perkenalkan namaku Dean Hyland. Panggil saja Dean. Aku murid pindahan dari Baltimore. Senang bisa bergabung dengan kelas ini.” Dia tersenyum ramah pada kami semua.

Kemudian, Chris bertanya, “Dude, apa yang kau mainkan?”

 “Apa yang aku mainkan? Guitar Hero, Mario Bros, nggg.. dan banyak lagi.” Canda Dean.

“Aku serius, bung. Kau terlihat begitu atletis.”

“Oh, maaf. Well, aku bermain drum.”

Chris langsung bersemangat begitu mendengar kalau Dean bermain drum. “Ah, kebetulan sekali. Band-ku sedang membutuhkan seorang drummer. Apakah kau sedang bergabung dengan sebuah band?”

“Tidak. Aku keluar dari band lamaku karena perbedaan visi-misi.”

Lalu Mrs. Scratton berdeham, “sepertinya ada pembicaraan yang seru di sini. Tetapi kita tidak punya banyak waktu. Chris, kau bisa membicarakannya lagi nanti seusai jam pelajaran, oke?”

“Oh, ya. Maaf.”

Lalu akhirnya Mrs. Scratton mempersilahkan Dean untuk duduk di tempat yang kosong dan tempat itu berada di belakang mejaku. Aku bisa mencium harumnya saat dia berjalan melewati mejaku. Aku tidak berani melihatnya. Takut kesulitan untuk bernafas. Akupun mulai berlebihan. Astaga.


            Seusai jam pelajaran semua teman-temanku menghampiri Dean secara bergantian untuk berkenalan dan berbincang-bincang. Sedangkan aku tidak beranjak dari kursiku. Aku bukanlah tipe orang yang senang berkumpul di antara banyak orang. Apalagi mengerumuni satu orang yang belum tentu akan mengingat wajahmu, apalagi mengingat namamu setelah sebuah perkenalan yang amat singkat.

            Aku memasang headset di telingaku dan menyetel lagu di iPodku dengan volume hampir penuh. Namun, suara perbincangan teman-temanku di belakang lebih riuh dibanding apa yang aku perkirakan. Karena merasa terganggu akupun beranjak dari kursiku lalu pergi ke perpustakaan.

            Tak berapa lama kemudian Sam menghampiriku, dia menepuk pundakku yang otomatis membuatku terguncang dan hampir menjatuhkan buku yang sedang aku baca.
            “Tidak bisa ya tidak membuatku kaget?” Protesku.

            “Maaf.” Katanya dengan tidak berdosa. “Jadi bagaimana?” Sam tersenyum licik.

            “Bagaimana apanya?” Tanyaku dengan bingung.

            “Dean Hyland. Si anak baru yang tampan itu.” Sam menyolek daguku. Masih dengan senyum liciknya.

            Aku tidak tahu harus berkata apa. Yang jelas aku malu untuk mengakui kalau Dean memang benar-benar tampan dan segalanya. Padahal tadi pagi aku sungguh tidak peduli dengannya. Ckck..

            “Bagaimana?” Sam terus mendesakku.

            “Yah, dia tampan. Kau benar.” Akhirnya aku mengatakannya. Namun aku tetap berusaha agar terdengar tidak tertarik dengan Dean.

            Sam terus tersenyum licik. Aku benci senyumannya.

            “Ah, pipimu memerah. Aku tahu kau tertarik dengannya. Biar kutebak...”

            “Apa?”

            “Dia mirip Tristan Evans kan?”

            “Ya, iya sih. Tapi aku kan tertariknya dengan Tristan Evans. Bukan dengan Dean Hyland. Mengerti?” Aku berusaha mengatakannya seyakin mungkin.

            “Masa sih?” Sam terus memojokanku.

            “Sudahlah, Sam. Tertarik padanya, artinya kau harus siap bertempur dengan ratusan anak perempuan di sekolah ini. Kau tahu kan, sebelum tahu rupanya saja mereka sudah mengaguminya, bagaimana dengan sekarang? May the odds be ever in your favor, sajalah..” Kataku pasrah.

            “Nampaknya ada yang putus asa. Aku tahu Dean itu tipe cowok idamanmu sekali. Kumohon kali ini jangan mengelak.”

            “Ya.” Jawabku singkat.

            “May the odds be ever in your favor!” Sam membisikiku lalu beranjak pergi dengan cengiran lebar.

            “Dasar kau!” Aku membalasnya dengan tidak bersuara karena ini perpustakaan. Kalau tidak aku sudah meneriakinya.

***

Tiga hari telah berlalu dan aku mendengar kabar kalau Dean sudah resmi bergabung dengan band-nya Chris, Collateral Damage. Drummer lama mereka baru saja pindah sekolah ke luar negeri. Namanya, Rex. Dia adalah drummer terhebat di sekolah ini. Sangat disayangkan dia tidak bisa bergabung dengan Collateral Damage lagi. Semoga saja Dean bisa menyepadani Rex atau bahkan lebih baik darinya.

Collateral Damage adalah band paling tenar di sekolahku. Terdiri dari 4 orang anggota. Chris di vokal dan gitar, Adam di bass, Peter di gitar dan Dean di drum. Senang sekali bisa menyebutkan namanya sebagai anggota baru dari Collateral Damage.

Seluruh anggotanya adalah murid kelas 2. Musik yang mereka bawakan bergenre mulai dari punk-rock sampai hard metal. Kalian tahu, yang banyak teriakan-teriakannya itu. Aku kagum dengan Chris dan suaranya yang tidak pernah habis. Bernyanyi sambil teriak itu pasti luar biasa sulit dan penuh perjuangan.

            Well, Here we go again, pelajaran paling membosankan. Geometri. Aku benci geometri. Oh tidak. Aku benci gurunya. Dia mengajar seakan-akan kami semua adalah seorang ahli geometri. Dia hanya mengoceh dan mengoceh tanpa sedikitpun memperhatikan apakah murid-muridnya mengerti atau tidak dengan apa yang dia jelaskan. Bicara saja dengan papan tulis. Astaga, maafkan aku Mr. Bones tapi aku sudah terlanjur kesal.

            Semua teman-temanku asyik sendiri. Ada yang mengunyah permen karet. Ada yang mendengarkan musik menggunakan headset. Ada yang bermain handphone. Ada yang mengecat kuku. Ada yang hanya diam pasrah dan ada yang dengan rajin menyalin semua yang ditulis Mr. Bones di papan tulis ke dalam buku catatannya.

            Aku? Aku hanya diam dengan suara Vic Fuentes mengalun di kepalaku. Dengan tidak disengaja akupun menyanyikannya dengan pelan, “Maybe we’re just having too much fun...”

            Lalu tiba-tiba aku mendengar suara dari belakangku melanjutkan nyanyianku sama pelannya dengan yang aku lakukan namun aku bisa mendengarnya dengan jelas. Suaranya lembut, “Maybe you can’t handle yourself, staring at me with your lips and tongue...”

            Dengan spontan akupun menengok ke belakang. Mataku bertemu dengan matanya. Dean. Dia mengangkat sebelah alisnya lalu bertanya, “Bulls In The Bronx?”

            Aku masih terkejut dengan kenyataan bahwa Dean yang melanjutkan nyanyianku barusan. Akupun masih terdiam menatapnya lalu beberapa detik kemudian aku menyadarkan diriku untuk berkata, “Iya, hehe. Suaraku terlalu besar ya? Aku tidak sengaja menyanyikannya.” Aku malu sekaligus senang.

            “Hahaha tidak masalah. Kau suka dengan Pierce The Veil?” Tanya Dean dengan ragu.

            “Mmm, begitulah.” Kami berbicara dengan berbisik-bisik agar tidak terdengar oleh Mr. Bones. Terdengar pun sebenarnya tidak masalah. Dia bukan tipe guru yang menghukum muridnya karena mengobrol di kelas. Lagi pula seperti yang aku katakan tadi, Mr. Bones tidak peduli dengan murid-muridnya.

            Tiba-tiba Mr. Bones menoleh ke arah kami berdua, “Sepertinya ada yang sedang asyik berbincang-bincang. Imogene, dan kau murid baru, Dean.”

            “Ehh, maaf.” Kata Dean terbata-bata. Seorang anak baru ditegur guru karena mengobrol dengan anak lama. Dan anak lama itu adalah aku. Maafkan aku Dean.

            “Baiklah, sekarang kembali perhatikan ke papan tulis.” Mr. Bones memerintahkan kami. Kami menurutinya diikuti dengan anak-anak yang lain.   
 
            Seusai pelajaran geometri, aku dan Dean berpapasan di depan pintu kelas, dia memanggilku, “Imogene?”

            Sontak aku terkejut mendengarnya memanggil namaku. Lalu aku menjawab, “Ya?” dengan canggung.

            Dean tersenyum lagi, “Tidak, aku hanya memastikan kalau itu benar-benar namamu.” Senyumannya tak tertahankan. Deretan giginya yang rapi menambah kemanisan senyumannya. Astaga...

            “Oh, ya. Baiklah.” Setelah mengatakannya aku merasa sangat bodoh. Kata-kata itu terdengar seperti aku mengharapkan dia berkata lebih dari hal itu. Aduh, cerobohnya diriku. Semoga dia tidak menyadarinya.

            “Senang berkenalan denganmu, Emo” Katanya dengan sangat ramah. Tunggu, Imo? Apa? Emo? Dean memanggilku seperti itu? Itu terdengar aneh karena orang-orang biasa memanggilku Immy. Dan setahuku, orang-orang yang bernama Imogene memang selalu dipanggil Immy untuk mempersingkat namanya dan agar terdengar lebih akrab. Tetapi Dean...... Apakah dia punya nama panggilan tersendiri untukku? Astaga.

            Aku terdiam lalu berkata, “Hah?” Aku pasti terdengar seperti orang bodoh (lagi dan lagi).

            “Iya, Emo. E-M-O.” Dia pun mengejanya.

            “Tapi kenapa? Aku biasa dipanggil Immy.” Aku tertawa canggung sambil menggaruk kepalaku yang tidak gatal.

            “Kurasa Emo lebih cocok untukmu. Mengingat selera musikmu yang bisa dibilang ekstrem untuk ukuran anak perempuan bertubuh kecil sepertimu.” Dia tertawa kecil.
            “Ohh, begitu.” Aku tertawa dengan canggung lagi. Aku mengerti maksudnya. Anak perempuan bertubuh kecil? Oke, kalimat itu sah-sah saja karena aku memang tidak tinggi jangkung seperti model Victoria Secret.

            “Kau tidak keberatan kan?” Tanyanya.

            “Oh, tidak sama sekali.” Aku justru senang kau punya nama panggilan tersendiri untukku. Kalau saja kita berpacaran, bisa dibilang itu adalah panggilan sayangmu untukku. Ya Tuhan aku mengaur lagi. Astaga...

            “Baiklah, Emo. Sampai jumpa lagi.” Dia tersenyum padaku lalu beranjak pergi. Saat dia membalikkan tubuhnya, aku dapat mencium aroma tubuhnya. Baunya seperti mint. Sangat menyegarkan.

Aku hanya membalasnya dengan mengangkat telapak tangan kanananku ke udara tanpa berkata-kata. Aku kehabisan kata-kata untuknya. Sungguh.

Aku masih diam terpaku dengan tatapan kosong dan dengan telapak tangan yang masih terangkat di udara ketika tiba-tiba aku tersadar akan penampakan sepasang sepatu converse cokelat di depan sepatuku.

“Emo.” Sepatu itu memanggil namaku. Eh, bukan sepatu. Maksudku si pemilik sepatu itu memanggil namaku. Suaranya terdengar familiar. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku untuk menyadarkan diri. Dan, TADAAA, sepatu itu ternyata milik Dean. Aku benar-benar seperti orang bodoh di hadapannya. Itu sudah pasti. Dia kembali. Untuk apa?



to be continued..........


Tidak ada komentar:

Posting Komentar